Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meyakini bahwa Indonesia tidak akan dirugikan secara signifikan atas ‘pengucilan’ Amerika Serikat (AS) terhadap nikel Indonesia. Jika Indonesia tetap dikucilkan, maka Indonesia bisa mencari pangsa pasar lain.
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, rencana kebijakan AS untuk tidak memberikan subsidi produk hijau seperti baterai maupun kendaraan listrik yang mengandung nikel Indonesia, tidak akan berdampak signifikan pada perkembangan industri hilir nikel di Tanah Air.
Melalui undang-undang baru Inflation Reduction Rate (IRA), AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.
Namun demikian, insentif ini dikhawatirkan tidak berlaku atas mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen nikel dari Indonesia. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS.
“Kalau kita lihat sih nggak terlalu berdampak signifikan. Karena kalau yang terjadi di lapangan seperti yang disampaikan, khususnya hilirisasi nikel, saat ini kan over. Malah kita minta ke pemerintah, stop dong jangan terlalu nambah, karena kita takut cadangan kita nggak cukup, khususnya metalurgi mengolah saprolit jadi NPI, menuju ke nickel matte atau stainless steel,” paparnya kepada CNBC Indonesia dalam program ‘Mining Zone’, dikutip Jumat (14/4/2023).
Dia menilai, pabrik pengolahan nikel di Indonesia sudah cukup banyak dan tidak akan kalah saing dengan negara yang menerima subsidi hijau dari AS. Hal ini juga didukung oleh pemberian insentif yang bervariatif oleh Pemerintah Indonesia kepada pabrik pengolah nikel di dalam negeri.
“Bagaimana pemerintah mendukung pabrik yang sudah ada, pabrik yang sudah berdiri dengan memberikan insentif fasilitas, sehingga kita tidak kalah saing dengan negara-negara yang sudah masuk dalam IRA,” jelasnya.
Bagaimana pun, lanjutnya, AS akan tetap membutuhkan nikel dari Indonesia. Hal itu diperlukan untuk mendukung program energi terbarukan yang membutuhkan baterai yang mengandung NMC atau Nikel, Mangan, Cobalt.
Adapun penghasil dan pemilik cadangan nikel terbesar no.1 dunia yaitu Indonesia. “Bagaimanapun Amerika membutuhkan Indonesia. Bagaimana pun ke depannya renewable energy butuh baterai listrik. Baterai bahan baku utama di NMC nikel, mangan, cobalt, di mana Indonesia, mereka butuh kita, kita jangan kalah saing kita bisa cari pangsa lain,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan. Dia mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dominan penghasil nikel di dunia. Bahkan, dia menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar pemilik cadangan nikel di dunia.
Dengan demikian, pasokan nikel RI tak akan tergantikan. “Kita sudah dominan (nikel), karena 30% dari reserve nikel dunia itu ada di Indonesia. Kita nomor satu cadangan nikel dunia dan tidak bisa tergantikan,” jelasnya dalam kesempatan yang sama, dikutip Jumat (14/4/2023).
Bara pun menyebut bahwa Indonesia memiliki apa yang tidak dimiliki negara lain termasuk AS. “Kita punya keuntungan dalam menghadapi negara mana pun, termasuk AS,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan pihaknya akan terbang ke AS dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.
Bila nantinya AS tidak bersepakat dengan RI, maka menurutnya yang akan rugi adalah pihak AS itu sendiri. “Kita akan bicara (dengan AS), karena kalau tidak, mereka akan rugi juga dan green energy yang kita punya untuk proses prekursor katoda itu mereka nggak dapat dari Indonesia karena kita nggak punya Free Trade Agreement dengan mereka,” tegasnya saat konferensi pers di gedung Kemenko Marves, Senin (10/4/2023).