Pemerintah Nunggak Rp 344 M, Peritel Ancam Mogok Jual Migor

Stok Minyakita di pasaran terpantau kosong, banyak kios-kios di pasar yang memilih untuk tidak menyetok minyak goreng kemasan sederhana merek pemerintah tersebut, lantaran mereka dipaksa harus membeli secara bundle atau sekaligus dengan merek lainnya. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan bahwa pemerintah sampai dengan detik ini masih belum membayarkan selisih harga minyak goreng alias rafaksi dari program satu harga pada tahun 2022 lalu. Padahal, janjinya Pemerintah akan membayar biaya selisihnya itu 17 hari setelah program satu harga tersebut dilakukan.

Untuk diketahui, program satu harga tersebut dilakukan mulai dari 19 Januari sampai dengan 31 Januari 2022 lalu. Dengan demikian, seharusnya pemerintah telah membayarkan rafaksi tersebut adalah pada 17 Februari 2022 lalu. Nahasnya, sudah satu tahun lebih sejak program tersebut dilakukan, namun rafaksi tak kunjung dibayarkan.

Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey menyebut total utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada 31 pengusaha ritel yang ikut serta melancarkan program satu harga tersebut, ialah sebesar Rp 344 miliar.

Roy menjelaskan, program minyak satu harga dilakukan dalam rangka mematuhi Permendag Nomor 3 tahun 2022. Semua pengusaha ritel, khususnya peritel sektor pangan diminta untuk menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara pada saat itu harga minyak goreng di pasaran berkisar di Rp 17.000-20.000 per liter. Selisih harga atau rafaksi yang ada, dalam Permendag 3 Tahun 2022 disebut akan dibayarkan pemerintah.

“Rafaksi kita lakukan ketika ada Permendag 3 tahun 2022, jadi rafaksi bukan kemauan ritel, karena ada regulasi Permendag itu. Semua dijual Rp 14.000 per liter, dari 19 Januari sampai 31 Januari 2022,” kata Roy kepada awak media di Bilangan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis (13/4/2023).

“Dalam regulasi itu selain satu harga, pemerintah akan membayarkan selisih harganya, karena saat itu harga melonjak tinggi,” lanjut Roy.

Namun demikian, Permendag 3 tersebut lantas menjadi polemik ketika digantikan dengan Permendag 6 tahun 2022. Beleid baru tersebut seakan telah membatalkan peraturan yang ada sebelumnya terkait rafaksi. Padahal, program telah dijalankan, dan menurut Roy, pemerintah tetap harus membayarkan biaya selisihnya sebagaimana yang tertuang dalam Permendag Nomor 3 Tahun 2022.

“Permendag 6 muncul, memang yang Permendag 3 jadi tak berlaku lagi, tapi bukan berarti rafaksi nggak dibayar. Kita sudah setorkan semua data pada 31 Januari sudah kita penuhi semuanya,” ujarnya.

Roy menyampaikan keheranannya, mengapa utang rafaksi yang dibayar pemerintah tak juga dibayarkan. Apalagi, uang rafaksi itu tidak dibiayai oleh APBN, melainkan uang pungutan ekspor CPO dari eksportir kelapa sawit yang ada di BPDPKS.

“Pembayaran rafaksi tidak lewat APBN, tapi lewat BPDPKS, uangnya bukan APBN, dari ekspor CPO, tarif ekspor CPO, jadi uangnya swasta bukan APBN. Jadi dengan kata lain kita minta untuk bayar aja, sampai hari ini belum dibayar. Tidak fair saat kita patuhi aturan tapi nggak tahu kapan dibayar dan diselesaikan,” ucapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Aprindo Setyadi Surya menyatakan BPDPKS telah memiliki uang untuk membayarkan rafaksi, dan sudah siap untuk disalurkan. Akan tetapi, BPDPKS sampai dengan saat ini masih menunggu surat verifikasi dari Kemendag.

“Dananya sudah tersedia tinggal surat verifikasi aja. Tinggal tunggu surat rekomendasi hasil verifikasi aja,” ungkap Setyadi.

Di sisi lain, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan justru menyebut pihaknya tidak bisa memberikan surat hasil verifikasi rafaksi kepada BPDPKS, sebab Permendag nomor 3 tahun 2022 tersebut sudah dibatalkan, dan malah meminta pihak Aprindo untuk menggugat Permendag nomor 6 ke PTUN.

“Saya dengar di rapat dengan DPR, Menteri Perdagangan itu bilang takut untuk mencairkan karena aturannya sudah tidak ada. Kedua, dia malah meminta untuk kami gugat ke PTUN baru dia mau kasih surat verifikasinya itu ke BPDPKS sehingga rafaksi bisa dicairkan,” ujar Roy sembari memperdengarkan bukti rekaman pernyataan Zulkifli Hasan dalam rapat dengan Komisi VI DPR.

Menanggapi hal itu, Roy justru mengatakan pihaknya tidak ingin menempuh jalur hukum. “Kalau bisa kan kita nggak mau langkah hukum yah, karena kan ini bukan duit APBN, bukan korupsi, tapi real hak kita aja. Kalau masalahnya Permendag harusnya dia bisa revisi, dia takut kalau itu aturan sebenarnya bukan dia yang bikin,” tuturnya.

Roy mengaku geram dengan perilaku pemerintah yang seperti enggan untuk membayarkan rafaksi ini. Dia mengaku pihaknya sudah bersurat langsung ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait rafaksi minyak goreng yang elah berlarut-larut tidak diselesaikan.

“Kami sangat berharap Bapak Presiden Jokowi dapat memberikan atensi bagi proses penyelesaian dan kepastian pembayaran rafaksi minyak goreng ini. Mengingat besarnya jumlah rafaksi yang sangat berarti bagi peritel anggota Aprindo,” kata Roy.

Roy mengatakan, jika pihaknya tak kunjung mendapatkan kepastian, Aprindo sedang menginisiasi untuk menyetop penjualan minyak goreng di toko-toko ritel.

Ada sekitar 48.000 gerai ritel seluruh Indonesia di mana 80% nya adalah sektor pangan yang kemungkinan akan berhenti menyuplai stok minyak goreng sebagai bentuk protes kepada pemerintah.

“Di antara anggota kami, kami saat ini sedang mengkaji inisiasi untuk menghentikan pembelian, pengadaan minyak goreng dari produsen dan pemasok minyak goreng,” tegas Roy.

Roy enggan bicara kapan aksi penyetopan penjualan minyak goreng ini akan dilakukan. Namun yang jelas, inisiatif tersebut sudah banyak dibicarakan dalam internal Aprindo.

“Kami bukan mau mengancam, tapi ini cara kami agar didengar. Soal kapannya, kami masih koordinasi dulu dengan anggota asosiasi, bila sama sekali tak ada perhatian dari pemerintah kami akan lakukan itu,” pungkas dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*