AS Loyo, Mulai Digeser China di Panggung Politik Global

Chinese and U.S. flags flutter near The Bund, before U.S. trade delegation meet their Chinese counterparts for talks in Shanghai, China July 30, 2019.  REUTERS/Aly Song

Landskap geopolitik dunia mengalami beragam dinamika menarik dalam dua tahun belakangan. Ini terjadi saat dua rival bebuyutan, China dan Amerika Serikat (AS), sama-sama menjalankan pengaruhnya di dunia.

Sebelumnya, kekuatan AS merupakan yang digadang-gadang sebagai yang terkuat. Washington menjalankan hubungan diplomatik yang kuat dengan negara-negara terbesar di kawasan dunia.

Namun China belakangan ini mulai muncul sebagai ‘matahari baru’ dalam perpolitikan global. Di bidang diplomatik, Presiden China Xi Jinping telah bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membahas perdamaian dalam perang Ukraina, dan menjamu Presiden Prancis Emmanuel Macron di Beijing.

Beijing juga menengahi konflik antara Arab Saudi dan Iran dalam apa yang merupakan salah satu bukti kekuatan diplomatik China. Bahkan, ini telah memojokan posisi politik AS di wilayah Timur Tengah (Timteng).

Pada saat yang sama, Beijing telah meluncurkan berbagai proposal untuk keamanan dan pembangunan global. Ini dibuktikan dengan proyek Belt and Road (BRI) yang dialamatkan untuk membantu pembangunan infrastruktur di negara-negara berkembang dunia.

Dorongan diplomatik yang memposisikan China sebagai kunci kekuatan global ini dapat ditelusuri akarnya pada ‘peremajaan bangsa China’, sebuah konsep nasionalis yang telah lama dipegang dengan melihat negara Tengah merebut kembali posisi sentralnya di dunia.

“Ini diartikulasikan oleh Xi sebagai ‘Impian China’ ketika dia pertama kali mengambil alih kekuasaan, itu mencerminkan kepercayaan kepemimpinan saat ini pada jalan dan pendekatan mereka sendiri dalam modernisasi,” kata Zhang Xin, seorang profesor di bidang politik dan hubungan internasional di East China Normal University, kepada BBC, Jumat (14/4/2023).

Tapi ini bukan hanya tentang menyebarkan pengaruh dengan Chinese Way. Seorang peneliti politik China di Asia Society Policy Institute, Neil Thomas, mengatakan pembangunan ekonomi sebagai kunci kesuksesan diplomatik Beijing.

“China perlu terus tumbuh sementara memperoleh pengaruh diplomatik. Anda tidak dapat melakukan itu jika Anda mengasingkan Barat, Anda masih perlu mempertahankan hubungan ekonomi yang baik. Itu membutuhkan diplomasi, dan mundur dari lebih banyak aspek ‘Wolf Warrior’,” tuturnya.

Kesibukan diplomatik Beijing disebut-sebut berakar pada perasaan yang makin terkepung. Kecurigaan di Barat telah menghasilkan aliansi pertahanan yang lebih kuat seperti Aukus dan Quad, dan bergerak untuk membatasi akses China ke teknologi canggih.

“Ini adalah perasaan yang meningkat dalam setahun terakhir dengan perang Ukraina dan hubungan yang diperkuat di dalam NATO. Beijing telah menyadari bahwa AS memiliki banyak teman yang kuat. Orang China lebih merasakan penahanan ini, sehingga memberi mereka dorongan yang lebih besar untuk keluar darinya,” kata Ian Chong, seorang peneliti nonresiden di Carnegie China.

Inilah mengapa papan kunci dalam strategi China adalah ‘dunia multi-kutub’, dunia yang memiliki banyak pusat kekuatan. Beijing menyokong argumen ini sebagai alternatif dari apa yang disebutnya ‘hegemoni AS’, yang dikatakan telah mengkotak-kotakan negara dunia dan memperburuk ketegangan.

Ini terbukti selama kunjungan Macron ke China, ketika Xi mendorong Eropa untuk menganggap dirinya sebagai ‘kutub independen’ sambil menggemakan retorika Macron tentang ‘otonomi strategis’.

Sementara Beijing berpendapat bahwa distribusi kekuatan yang lebih seimbang akan membuat dunia lebih aman, yang lain melihatnya sebagai upaya untuk memikat negara menjauh dari orbit AS dan menopang pengaruh China.

Zhang Xin menilai bahwa di negara berkembang dunia, langkah China ini akan memiliki daya tarik luas. Di negara otoriter, manuver Xi akan menjadikan China akan menjadi jagoan mereka dalam pemerintahan global.

“Tapi apakah mereka cukup setuju untuk bertahan di China tidak diketahui. Ada garis merah yang tidak akan mereka lewati, seperti yang terlihat dalam pemungutan suara PBB tentang perang Ukraina di mana sebagian besar negara memilih untuk mengutuk invasi, sementara China abstain,” tambah keterangan Ian Chong.

Sementara itu, sekutu tradisional AS seperti Eropa terus memperdebatkan bagaimana menangani tawaran China. Beberapa tampaknya tidak mudah terombang-ambing, seperti Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen yang bersikap lebih tegas kepada Xi ketika ia menemani Macron ke ibu kota China.

Tetapi yang lain tertarik untuk menjaga hubungan ekonomi negara mereka dengan China lebih terbuka. Dalam langkah yang tidak biasa, Xi secara pribadi menemani Macron ke Guangzhou di mana dia memberi isyarat bahwa mereka adalah ‘sahabat karib’.

Macron kemudian mengatakan kepada wartawan bahwa bukan kepentingan Eropa untuk terlibat di Taiwan. Sejak saat itu ia membela komentarnya, dengan mengatakan bahwa menjadi sekutu AS tidak berarti menjadi ‘pengikut’ AS. Ini adalah bukti, bagi sebagian orang, bahwa metode pendekatan Xi telah berhasil.

Langkah ini pun menuai protes dari AS. Mantan Presiden AS Donald Trump menyebutnya tengah ‘mencium pantat’ Presiden China Xi Jinping.

“Macron, yang adalah teman saya, sudah dengan China. Mencium pantat (China), Prancis sekarang pergi ke China.”

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*